Kamis, 18 April 2013

Pertumbuhan Ekonomi yang Keropos

LEMBAGA-LEMBAGA internasional memprediksi ekonomi Indonesia bakal mentereng di tahun-tahun mendatang. World Bank, International Monetary Fund, dan majalah The Economist, misalnya, memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6%. McKinsey Global Institute bahkan meramal Indonesia menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia.
Selain lembaga-lembaga itu, tentu pemerintah Indonesia juga optimistis, bahkan terlalu optimistis dengan masa depan ekonomi kita. Pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8% per tahun.
Di tengah krisis ekonomi Eropa dan Amerika, ketika lembaga-lembaga lain merevisi dan menurunkan prediksi angka pertumbuhan ekonomi, pemerintah tetap mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8%. 

Di balik optimisme itu, banyak kalangan di dalam negeri mewanti-wanti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berdiri di atas fondasi yang keropos dan karena itu, rapuh menghadapi badai krisis ekonomi.
Lembaga kajian ekonomi Indef mencatat sejumlah indikator rapuhnya bangunan ekonomi Indonesia. Pertama, sektor nontradable mengalami laju pertumbuhan tertinggi hingga kuartal III 2012. Sektor nontradable itu ialah pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh 10,29%, disusul sektor perdagangan, hotel, dan restoran 8,04%.
Sebaliknya, di sektor tradable, pertambangan dan penggalian hanya tumbuh 1,94%, pertanian 4,27%, dan industri pengolahan 5,81%. Padahal, sektor tradable merupakan sektor padat karya yang menyerap lebih dari separuh angkatan kerja yang berjumlah 110,8 juta orang.
Kedua, tingginya jumlah pekerja di sektor informal. Meski pemerintah mengklaim tingkat pengangguran terbuka turun hingga 6,14%, dalam komposisi angkatan kerja, pekerja informal masih mendominasi dengan jumlah hingga 62,7%.
Ketiga, jurang kesenjangan ekonomi kian menganga. Itu ditunjukkan meningkatnya koefisien rasio Gini. Koefisien Gini 2012 mencapai 0,41, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang berada di bawah 0,4.
Ketimpangan ekonomi bisa dilihat dari jomplangnya jumlah orang kaya dan miskin. Majalah Forbes mencatat 40 orang terkaya di Indonesia pada 2012 yang bergelimang harta hingga US$88,6 miliar. Bandingkan dengan jumlah orang miskin yang menurut data Badan Pusat Statistik per Maret 2012 mencapai lebih dari 30 juta orang dengan pengeluaran cuma sekitar Rp240 ribu per orang per bulan.
Indikator-indikator kerapuhan fondasi bangunan ekonomi itu sejatinya menunjukkan tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kita cenderung mengejar pertumbuhan, tetapi mengabaikan pemerataan.
Berbagai indikator kerapuhan ekonomi itu semestinya tidak lantas membuat pemerintah panas telinga. Justru dengan indikator itu, pemerintah bisa segera mengambil langkah-langkah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan mengutamakan pengembangan sektor padat karya.
Dengan perkataan singkat, pemerintah harus menjadikan kritik tentang rapuhnya fondasi ekonomi sebagai penyeimbang agar tidak overconfident, tidak terlena dengan indahnya prediksi angka pertumbuhan ekonomi.

Permasalahan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Permasalahan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Permasalahan pokok yang dihadapi oleh negara sedang berkembang terletak pada hasil pembangunan masa lampau, dimana strategi pembangunan ekonomi yang menitikberatkan secara pembangunan dalam arti pertumbuhan ekonomi yang pesat ternyata menghadapi kekecewaan. Banyak negara dunia ketiga yang sudah mengalami petumbuhan ekonomi, tapi sedikit sekali manfaatnya terutama dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Jurang si kaya dan si miskin semakin melebar. Penganggur dan setengah menganggur di desa maupun di kota semakin meningkat. Problem dari masalah kemiskinan, serta keadaan perumahan yang tidak memadai.
Ketimpangan dan ketidakmerataan serta pengangguran tidak hanya dalam kontek nasional, tetapi dalam konteks internasional yang memandang negara-negara yang sedang berkembang sebagai bagian peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) yang sangat timpang dalam sistem ekonomi dunia. Di negara maju titik berat strategi pembangunan nampaknya ditekan untuk mengalihkan pertumbuhan menuju usaha-usaha yang menyangkut kualitas hidup. Usaha-usaha tersebut dimanifestasikan secara prinsip dalam perubahan keadaan lingkungan hidup.
Pada prinsipnya problem-problem kemiskinan dan distribusi pendapatan menjadi sama-sama penting dalam pembangunan negara tersebut. Penghapusan kemiskinan yang meluas dan pertumbuhan ketimpangan pendapatan merupakan pusat dari semua problem pembangunan yang banyak mempengaruhi strategi dan tujuan pembangunan. Oleh karena itu ahli ekonomi mengemukakan bahwa untuk perbaikan jurang pendapatan nasional hanya mungkin bila strategi pembangunan mengutamakan apa yang disebut keperluan mutlak, syarat minimum untuk memenuhi kebutuhan pokok, serta yang dinamakan kebutuhan dasar.
Pengalaman pembangunan di banyak negara dewasa ini menunjukkan, bahwa terdapat pertentangan antara gagasan dan praktek pembangunan ekonomi. Gagasan pembangunan kontemporer berpendirian, bahwa globalisasi akan selalu memberikan efek positif yang menguntungkan. Pada prakteknya itu tidak selalu terjadi. Krisis finansial yang melanda Asia Timur dan Asia Tenggara merupakan contoh ekses negatif globalisasi. Globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai tidak selalu diikuti pemerataan dan keadilan sosial.
Hal ini selanjutnya membawa kita pada dilema pokok dalam gagasan pembangunan, yaitu adanya perdebatan di antara para pakar tentang strategi yang seharusnya didahulukan, antara pertumbuhan dan pembangunan. Kelompok pertama menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi harus didahulukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain dalam pembangunan. Kelompok lainnya berpendapat, bahwa bertolak dari tujuan yang sebenarnya ingin dicapai, maka aktivitas yang berkaitan langsung dengan masalah pembangunan itulah yang seharusnya didahulukan, sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Perdebatan ini menarik untuk diikuti karena masing-masing kelompok berpendapat dengan argumen yang kuat.

Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah dapat dilihat atau diukur dari tiga pendekatan yaitu, pendekatan faktor produksi (Neo Klasik), pendekatan sektoral dan pendekatan pengeluaran yang meliputi konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan selisih ekspor dengan impor. Dalam pendekatan faktor produksi, sumber pertumbuhan ekonomi dilihat dari faktor-faktor produksi yaitu modal (capital), tenaga kerja (man power) dan kemajuan teknologi (technology progress). Selanjutnya, untuk melihat sumber pertumbuhan ekonomi dari pendekatan sektoral yaitu dilihat dari sektor-sektor ekonomi. Sektor ekonomi dalam hal ini dapat dibagi dalam 3 sektor saja yaitu sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder dan kontruksi serta sektor tersier (jasa-jasa).
1. Pertumbuhan Ekonomi dari Faktor Produksi
Untuk mengukur berapa besar kontribusi masing-masing faktor produksi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu perekono-mian dapat digunakan model Neo-Klasik dari Robert Solow dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang telah diubah dalam bentuk linear yaitu sebagai berikut:
Ln Y = ln a + β ln K + l ln L + e
Selanjutnya, untuk mengetahui besarnya kontribusi masing-masing faktor produksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka model tersebut digunakan dengan beberapa perubahan. Untuk variabel modal diprediksi dengan tingkat investasi total (investasi asing, investasi swasta dan investasi pemerintah) dengan menggunakan data tahun 1969–1993.
Untuk keperluan analisis digunakan data periode 1969 – 1993 dan model Neo-Klasik dari Solow dengan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam bentuk linear yang bersifat constant return to scale. Dalam model tersebut, Y merupakan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi dari PDB, K adalah kapital yang diprediksi dari investasi dan L adalah jumlah tenaga kerja yang diserap oleh semua sektor. Dari hasil analisis komputer diperoleh hasil sebagai berikut:
Ln Y =  3,152 + 0,321 Ln K + 1,264 Ln L
(11.521)      (4.945)         (7.210)
R2 = 0,98
F hitung = 510.713
Dalam kurung (…) = t hitung
Selanjutnya berdasarkan data historis diketahui bahwa, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 1969–1993 rata-rata sebesar 7,11 persen per tahun. Tingkat pertum-buhan investasi rata-rata sebesar 9,91 persen per tahun, dan tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja rata-rata adalah sebesar 2,88 persen per tahun. Untuk mengukur besarnya sumbangan atau kontribusi masing-masing faktor produksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia digunakan rumus seperti yang telah digunakan oleh Alfian Lains (1990) dengan metode Denisson (1962) yaitu sebagai berikut:
rXi
Kr Xi = ——————- x koefisien Xi
rY
KrXi    = kontribusi variabel Xi terhadap Y
rXi       = rata-rata pertumbuhan variabel Xi per tahun
r Y       = rata-rata pertumbuhan Y
Dari hasil analisis dengan menggunakan model tersebut di atas, diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh investasi dan tenaga kerja. Dengan kata lain, bahwa, pertumbuhan ekonomi Indonesia diantaranya dipengaruhi oleh adanya peningkatan investasi yang bersifat langsung. Ini berarti bahwa, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama Pembangunan Jangka Panjang pertama disebabkan karena adanya peningkatan kuantitas investasi, bukan karena adanya peningkatan kualitas investasi seperti yang terjadi di banyak negara-negara maju. Peningkatan kuantitas investasi tidak banyak berperan dalam meningkatkan kapasitas ekonomi atau skala ekonomi (economic scale). Kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sebesar 44,79 persen.
Faktor produksi tenaga kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama PJP I. Nilai elastisitas tenaga kerja terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 1,264. Nilai elastisitas ini menerangkan bahwa, jika terjadi peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 10 persen, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 12,64 persen. Selanjutnya, setelah dihitung berdasarkan nilai elastisitas terse-but, maka kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sebesar 51,20 persen.

Kemajuan teknologi atau faktor produktivitas total (Total Productivity Factor) merupakan bagian dari kegiatan produksi yang sangat penting. Karena, dengan adanya kemajuan teknologi, produktivitas modal maupun tenaga kerja dapat ditingkatkan lebih besar lagi dibandingkan dengan adanya peningkatan modal maupun tenaga kerja saja. Pengukuran kemajuan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi memang merupakan masalah yang tidak mudah. Kemajuan teknologi dapat dilihat dari beberapa aspek seperti dari aspek manajemen, tingkat pendidikan, penggunaan teknik-teknik baru dan lain sebagainya. Dalam hal ini, yang menjadi persoalan bukan dari aspek mana melihat kemajuan teknologi tersebut, tetapi yang lebih penting adalah berapa besar kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kemajuan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi menurut Robert Solow (1957) merupakan residu dari kontribusi modal ditambah kontribusi tenaga kerja atau dikenal dengan perubahan teknologi (technology changes). Dari hasil perhitungan, ternyata kontribusi kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama PJP 1 (1969 – 1993) hanya sebesar 4,01 persen. Dibandingkan dengan hasil penelitian, Robert Solow (1957), Denison (1962, 1967), dan Kuznets (1971), ternyata kontribusi kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat rendah.